Dunia olahraga memang luas, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa.
Potensi, motivasi bahkan ambisi mereka dalam berolahraga pun
berbeda-beda. Ada yang baik dan positif, tetapi ada juga yang tidak baik
dan negatif. Olahraga itu sendiri, apakah yang berbentuk fisik maupun
psikis, ternyata ada yang bermanfaat dan konstruktif, tetapi ada juga
yang membahayakan dan merusak.
Karena itu, kegiatan olahraga dan non-olahraga, bahkan semua urusan
kehidupan manusia, karena merupakan bagian dari kehidupan manusia, harus
diatur, baik dengan Alquran maupun Sunnah Rasulullah SAW. Baik dalam
bentuk perbuatan, perkataan, termasuk motivasi dan tindakannya.
Pengaturan itu bukan karena tradisi dan budaya atau karena populer dan
digandrungi, jika ternyata bertentangan dengan syariat Allah harus
dilarang. Sebab, syariatlah yang menjadi pemutus atas individu, jamaah
dan negara. Syariat pulalah yang menjadi penentu perasaan dan perilaku.
Syariat pulalah yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Tujuan Olahraga
Kehidupan umat Islam pada era di mana hukum Islam diterapkan dalam
seluruh aspek kehidupan di bawah naungan Khilafah adalah kehidupan yang
dipenuhi dengan ambisi dan cita-cita Islam yang agung dan mulia, yaitu i’la’i kalimati-Llah
(menjunjung tinggi kalimah Allah) dengan dakwah dan jihad, guna
mengemban dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia. Nabi pun
bersabda, “Sesungguhnya melancong dan rekreasi umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Dawud, Hakim, Baihaqi dan at-Thabrani).
Ini menjadi bukti, bahwa kehidupan umat Islam bukan kehidupan yang
dipenuhi dengan sendagurau, main-main dan santai, tetapi kehidupan yang
serius. Meski tidak berarti, tidak boleh diselingi, sesekali dengan
santai dan sendagurau. Tetapi, selingan tetap selingan. Bukan justru,
selingan ini mendominasi waktu dan hari-hari seorang Muslim.
Karena itu, jika Nabi memerintahkan agar kita mengajarkan renang,
berkuda dan memanah kepada anak-anak kita, konteks perintah tersebut ada
dua: Pertama, menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat; Kedua,
melatih kekuatan fisik untuk persiapan berjihad di jalan Allah. Tidak
lebih dari itu. Maka, olahraga diperlukan dalam dua konteks ini. Bukan
untuk olahraga itu sendiri, juga bukan untuk mendapatkan dan
mengumpulkan harta, bukan pula untuk mendapatkan popularitas dan
ketenaran, yang diikuti dengan arogansi, kesombongan serta sikap
destruktif lainnya, sebagaimana yang banyak ditunjukkan oleh olahragawan
dan atlet saat ini.
Dengan kata lain, olahraga ini di-set up sedemikian rupa
sebagai bagian dari aktivitas politik dan ideologis. Inilah tujuan dan
konteks olahraga, yang di era permulaan Islam dikenal dengan istilah Furusiyyah
(latihan berkuda untuk menjadi kesatria), yaitu untuk memberikan,
membela dan mengembalikan hak-hak yang dirampas dari pemiliknya.
Dalam konteks inilah, olahraga ini disyariat. Allah berfirman, “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang mampu kalian upayakan.” (Q.s. al-Anfal [8]: 60). Nabi juga bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, ketimbang orang mukmin yang lemah.” Dalam
konteks itu pula, Nabi SAW mengizinkan orang-orang Abesenia untuk
memainkan tombak di masjid Nabawi yang mulia. Nabi juga mengizinkan
Aisyah, istri baginda SAW, untuk melihat mereka (HR Muttafaq ‘Alaih).
Kebijakan Olahraga yang Salah
Ketika kehidupan umat Islam dipimpin oleh ideologi kapitalisme,
dengan asas manfaat sebagai pandangan hidupnya, maka orientasi hidup
kaum Muslim pun berhasil disesatkan. Mereka bukan hidup untuk Islam dan
umatnya, apalagi persiapan untuk kehidupan akhirat. Tetapi, mereka hidup
untuk kesenangan duniawi dan materi. Dunia olahraga pun disulap menjadi
industri untuk mewujudkan ambisi materi, duniawi dan polularitas.
Para olahragawan dan atlet pun telah menjelma menjadi selebritas,
yang diburu oleh media dan penggemar, kemudian diikuti dengan iklan dan
pendapatan yang melimpah. Inilah industri olahraga yang telah keluar
dari konteksnya untuk menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat dan
melatih kekuatan fisik untuk persiapan berjihad di jalan Allah. Di
negara-negara Barat, olahragawan dan atlet pun terlibat skandal seks,
minuman keras, kecanduan obat dan moralitas.
Fenomena kehidupan mereka pun telah menyihir kaum Muslim. Mereka
mengikuti berita dan agenda olahraga dengan mendalam, sementara mereka
nyaris tidak tahu urusan agama dan umat mereka. Semuanya ini telah
menyeret mereka dari berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga orang
dewasa. Inilah musibah yang dihadapi oleh kaum Muslim saat ini. Bahkan,
olahraga telah digunakan sebagai sarana untuk meracuni mereka dan
menghalang-halangi mereka dari dzikir, shalat dan jihad di jalan Allah,
serta membuang-buang potensi mereka untuk bermain siang dan malam, tanpa
peduli terhadap peristiwa atau kondisi yang menimpa kaum Muslim. Ini
jelas dilarang oleh Islam.
Kepentingan Politik dan Ideologis
Jihad sebagai ujung tombak Islam (dzarwah sanam al-Islam)
dan cara yang disyariatkan oleh Allah untuk meraih kemuliaan di dunia
dan akhirat, jelas membutuhkan persiapan, antara lain kebugaran badan.
Dalam hal ini, olahraga dan latihan fisik jelas mempunyai peranan.
Sebagai contoh, keahlian memanah, melempar lembing dan menembak,
misalnya, jelas sangat dibutuhkan dalam berjihad.
Demikian juga kebugaran fisik, merupakan prasyarat yang dibutuhkan
dalam berjihad agar bisa mengarungi medan jihad yang sangat berat. Ini
membutuhkan latihan dan olahraga, seperti jalan kaki, lari spring,
termasuk renang yang sangat membantu kebugaran fisik dan pernafasan.
Selain itu, olahraga seperti karate, taekwondo, kungfu, ninja dan
keterampilan sejenisnya, di mana olahraga ini berguna untuk
mempertahankan diri dan menyerang lawan, juga dibutuhkan.