Nielsen’s New Global Health and Ingredient – Sentiment Survey
yang dilakukan di 63 negara menunjukkan bahwa, 80% konsumen Indonesia menjalani
diet khusus yang membatasi konsumsi makanan atau minuman atau bahan-bahan
tetentu.
Sebanyak 64% bersedia membayar makanan atau minuman yang tidak mengandung
bahan yang tak diinginkan. Bahkan, 89% masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi
makanan/ minuman tinggi lemak, gula, dan karbohidrat.
Menurut Maria Lioe, masyarakat Indonesia kini
sudah semakin sadar dengan pola makan sehat dan rela mengadopsi pola makan
khusus demi mencegah berbagai masalah kesehatan.
“Meningkatnya biaya kesehatan juga menjadi faktor pendorong untuk
menjalankan pola makan sehat,” ungkap Maria.
Inilah yang kemudian menyebabkan tingginya minat terhadap bahan makanan yang
bermanfaat bagi tubuh, sehingga muncul tren pangan fungsional.
Prof. Dr. C. Hanny Wijaya, Ketua Perhimpunan Penggiat Pangan
Fungsional dan Nutrasetikal Indonesia, prinsip makanan fungsional adalah
memiliki tiga fungsi yaitu, sebagai sumber nutrisi, sebagai pemuas cita rasa
dan pemberi aroma, dan memiliki kemampuan fisiologis aktif untuk meningkatkan
daya tahan tubuh dan menjaga kebugaran.
“Untuk mendapat fungsi yang ketiga, kita harus menemukan bahan baku khusus.
Misalnya, jahe selain untuk masakan juga bermanfaat sebagai anti inflamasi,
meningkatkan imunitas,” jelas Prof Hanny.
Prof Hannya menambahkan, makanan fungsional sebenarnya sudah dikenal sejak
lama. Karena orang zaman dahulu mengandalkan makanan sehari-hari untuk menjaga
kesehatannya. Selain untuk mengenyangkan perut, berbagai bahan makanan yang
dikonsumsi juga punya manfaat untuk kebugaran.
“Orang zaman dulu kan enggak mengenal vitamin atau obat, mau berobat juga
jaraknya jauh. Kok bisa tetap sehat? Ya dari makanan sehari-hari yang
dikonsumsi. Jahe, kencur, kunyit, cabai, dan sebagainya. Di Sumatra misalnya
ada andaliman, itu juga termasuk,” jelasnya.
Menurut Prof Hanny, Indonesia yang kaya dengan berbagai rempah
dan bahan makanan ini masih belum bisa memanfaatkannya secara maksimal.
Belum ada standard kualitas sebagai bahan baku sebuah produk makanan sehat.
Salah satunya karena petani masih kurang mendapat edukasi bagaimana menjaga
kualitas panennya. Sehingga, seringkali untuk bahan baku yang sama, kualitasnya
berbeda.